Minggu, 15 Juli 2012

Ciri dan Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam


CIRI DAN PRINSIP KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


Oleh A’an Minan Nur Rohman, S.Pd.I


A.    PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat,[1] dewasa ini pendidikan menjadi salah satu barometer dalam menentukan tingkat daya saing bangsa pada tataran Global, tak ayal masing-masing Negara berlomba menyelenggarakan pendidikan yang bermutu serta berkualitas. Untuk memperoleh hasil pendidikan yang bermutu maka tidak boleh tidak sebuah pendidikan harus mempunyai perencanaan yang matang, pelaksanaan peremcanaan serta evaluasi yang reliable.
Adalah kurikulum yang memiliki esensi berupa program dalam mencapai tujuan. [2] Sebagai sebuah rencana,[3] kurikulum mempunyai peran sentral dalam menunjang keberhasilan sebuah pendidikan, terutama pendidikan Islam yang bertujuan membentuk akhlakul karimah, maka kurikulum yang direncanakan serta dikembangkan haruslah benar-benar memenuhi kriteria-kriteria yang memungkin tercapainya tujuan pendidikan Islam .
Antara tujuan pendidikan Islam dengan program (kurikulum) merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, hal ini disebabkan karena suatu tujuan yang hendak dicapai haruslah terlukiskan di dalam program (kurikulum), bahkan program itulah yang akan mencerminkan arah dan tujuan yang diinginkan dalam proses kependidikan. [4]
Kurikulum menjadi landasan berpijak suatu lembaga pendidikan untuk melangkah lebih jauh mengembangkan cirri khas suatu lembaga penididikan dengan corak dan warna yang berbeda tergantung latar belakang lembaga tersebt. Apabila suatu lembaga pendidikan bernafasakan Internasioanal maka kurikulum yang disusunpun harus mengedepankan daya saing internasional, apabila suatu lembaga pendidikan bernafaskan Islam maka dapat dipastikan kurikulum yang dibentuk juga akan terkontaminasi bahkan sengaja memasukkan muatan-muatan agama sebagai konsekuansi dari ke khasan suatu lembaga.
Kurikulum pendidikan Islam tentu berbeda dengan kurikulum pendidikan pada umumnya dengan ciri-ciri dan prinsip-prinsip yang yang dimiliki oleh pendidikan Islam, makalah sederhana ini akan mencoba menelaah karakteristik kurikulum pendidikan Islam dan prinsip-prinsip dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam beserta dinamikanya.

B.    PEMBAHASAN
1.   Pengertian Kurikulum
Dari berbagai literatur yang membahas tentang kurikulum, pakar pendidikan memberikqn pendapat bahwa kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti berlari dan curere yang berarti tempat berpacu.[5] Dengan demikian dapat difahami pengambilan istilah kurikulum berasal dari istilah dunia olah raga yang mempunyai arti  suatu batas/jarak yang harus dilalui oleh seorang pelari dari garis awal sampai akhir dalam perlombaan lari estafet.[6]
Selanjutnya istilah kurikulum tersebut dipakai dan mengalami perubahan makna sesuai dengan perkembangan dan dinamika dunia pendidikan, meskipun sejauh ini belum diketahui secara pasti kapan istilah kurikulum masuk ke dalam dunia pendidikan beserta para tokohnya. Sehingga kurikulum secara sempit bisa diartikan sebagai seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid sesuai dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai.[7] Sedangkan secara luas kurikulum adalah semua aktiftas yang diprogram oleh lembaga pendidikan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.[8]
Kurikulum dalam arti sempit lebih cocok dimengerti dan dilakukan pendidik, sedangkan kurikulum dalam arti luas relevan difahami dan dilakukan oleh pimpinan sekolah beserta pembantu-pembantunya, karena melukiskan domain pemikiran, perencanaan dan tanggungjawabnya dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan yang dicanangkan serta menjadikan sekolah mempunyai daya saing yang tinggi.[9]
Dalam bahasa Arab istilah kurikulum disebut dengan istilah manhaj atau minhaj yang mempunyai arti beberapa rencana dan perantara yang telah ditentukan sebuah lembaga pendidikan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. [10] Sedangkan menurut Ramayulis manhaj diartikan sebagai jalan terang yang dilalui manusia dalam berbagai sendi kehidupannya. Istilah ini kelihatannya lebih luas bila dibandingkan dengan istilah kurikulum yang diambil dari bahasa Yunani terbatas pada dunia olah raga saja. Maka kata manhaj  dalam bahasa Arab sudah digunakan dalam dunia pendidikan dengan pengertian pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik untuk mendapatkan ijazah atau tingkatan tertentu. [11]   
Dari beberapa definisi kurikulum diatas, hakikat dari kurikulum adalah suatu program yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan tertentu. Kemudian, jika disambungkan dengan filsafat dan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam mempunyai arti sebagai suatu rangkaian program yang mengarahkan kegiatan belajar mengajar secara sistemtis dan berarah tujuan serta melukiskan cita-cita nilai-nilai keIslaman.[12]



2.   Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Kurikulum
Menyinggung masalah ontologi, epistemologi dan aksiologi kurikulum pendidikan, ada keterkaitan antara definisi kurikulum yang merupakan batasan dari kurikulum itu sendiri. Telah disebutkan diatas definisi kurikulum yang bersifat sempit yang tertuju kepada satu mata pelajaran saja dan definisi kurikulum yang lebih luas dengan dikaitkan aktifitas-aktifitas kehidupan dan ketrampilan hidup, maka jika kita mengambil pengertian yang lebih menengah yang disebut dengan modern, kurikulum diartikan tidak hanya sejumlah mata pelajaran yang harus diselesaikan peserta didik lagi, melainkan sudah berkembang kepada aktifitas lembaga pendidikan yang mendorong peserta didik untuk belajar. [13]
a.     Ontologi
Dari aspek ontology, pengertian kurikulum yang telah disebut di atas berarti kerukulum dipertanyakan dari sisi “perencanaan lembaga pendidikan sampai pada aktifitas belajar peserta didiknya “.[14] Jadi apa saja rencana dan aktifitas pembelajarn yang dilakukan lembaga pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah dicanangkan. Maka, perencanaan dan aktifitas pembelajaran terhadap peserta didik akan dipertanyakan meaning ful-nya bagi pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.[15]

b.     Epistemologi
Pada tataran epistemology, kurikulum berarti dipertanyakan sampai sejauh mana proses pendesainan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan. Dari sudut pandang ini, aspek bagaimana kurikulum direfleksikan ke dalam perencanaan dan diwujudkan ke dalam aktifitas pembelajaran adalah persoalan utama kurikulum yang harus dijawab. Pada garis besarnya adalah bagaimana akuntabilitas dan transparansi pada aspek perencanaan dan aktifitas pembelajaran dapat dilakukan oleh para pelaku kurikulum, sehingga menjadi “ meaning ful” terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian keseluruhan dari semua elemen yang berhubungan dengan kurikulum harus diperhatikan, karena totalitas tersebut akan memberikan pengaruh dan konstribusi pada pencapaian tujuan pendidikan.[16]
c.      Aksiologi
Pada aspek aksiologi, kurikulum dipertanyakan dari segi kemaslahatan bagi masyarakat, nilai guna apa yang diberikan kurikulum untuk kepentingan hajat orang banyak. Di lain hal aspek aksiologi ini menyangkut aspek azaz sosiologis kurikulum yang mempertanyakan seberapa besar relevansi kurikulum dengan kebutuhan masyarakat. Apakah nilai yang dihasilkan dari suatu aktifitas pembelajaran pada suatu lembaga pendidikan memiliki relevansi yang tinggi terhadap kebutuhan masyarakat. Salah satu ukuran yang bisa diterapkan adalah dengan menganalisis sejauh mana tingkat kegunaan ilmu yang dimiliki para lulusan dalam berkiprah dalam masyarakat yang sesungguhnya, [17] jangan sampai out put pendidikan hanya menjadi beban bagi bagi masyarakat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa nilai aksiologis dari suatu kurikulum harus benar-benar dipertimbangkan relevansinya dari konteks budaya masyarakat lingkungan, sehingga lulusan dapat berbaur dengan masyarakat sendiri dan tidak hadir sebagai Orang Asing pada masyarakat.[18]

3.   Ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Setelah kita memahami pengertian kurikulum dan dinamikanya, selanjutnya lebih spisifik kita memahami ciri kurikulum pendidikan Islam yang tentunya memiliki perbedaan dengan kurikulum pendidikan pada umumnya. Secara umum ciri kurikulum pendidikan Islam merupakan pencerminan nilai-nilai Islami yang diperoleh dari hasil pemikiran kefilsafatan dan diprektekkan dalam semua kegiatan kependidikan. Maka bisa dikatakan bahwa ciri kurikulum pendidikan Islam selalu memiliki keterkaitan dengan Al-Qur’an dan al-Hadits. Konsep inilah yang membedakan dengan pendidikan pada umumnya. [19]
Menurut Al-Syabani, ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam sebagaimana berikut :
a.      Kurikulum pendidikan Islam mengedepankan dan mengutamakan Agama dan akhlak dalam berbagai tujuannya. Materi dalam kurikulum pendidikan Islam haruslah mencerminkan nilai-nilai keIslaman dan bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, metode pembelajaran yang diterapkan, alat dan teknik dalam kurikulum pendidikan Islam juga mencerminkan nilai-nilai keAgamaan.[20]
b.     Kandungan dan cakupan kurikulum pendidikan Islam bersifat menyeluruh yang mencerminkan semangat pemikiran dan ajaran Islam yang bersifat universal dan menjangkau semua aspek kehidupan, baik intelektual, psikologis, social dan spiritual.
c.      Kurikulum pendidikan Islam mempunyai keseimbangan yang relative di dalam muatan keilmuannya baik ilmi-ilmu syariat, ilmu akal dan bahasa serta seni. Disamping Kurikulum pendidikan Islam  menyeluruh cakupan dan kandungannya, ia juga memperhatikan keseimbangan relative, disebut keseimbangan relative karena mengakui bahwa tidak ada keseimbangan yang mutlak pada kurikulum pengajaran.
Keseimbangan kurikulum pendidikan Islam juga diakui oleh para pendidik muslim pada zaman klasik seperti Al-Faraby yang memunji keseimbangan kurikulum di negeri Andalusia dimana ia tinggal, Ibnu Khaldun juga membeikan penilaian terhadap keseimbangan kurikulm di dunia Barat dan dunia timur.[21]   
d.     Kurikulum pendidikan Islam mencakup kesemua materi pelajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik, baik yang bersifat kerelegiusan maupun yang bersifat keduniaan. Materi keAgamaan digunakan untuk memahami hakikat hubungan manusia dengan sang pencipta sementara keprofan-dunia digunakan untuk mencukupi kebutuhan primer dan sekunder manusia dalam hubungannya dengan sesame manusia.[22]
e.      Kurikulum pendidikan Islam terkait dengan minat, bakat dan kemampuan peserta didik, sehingga murid tidak mempelajari suatu mata pelajaran kecuali ia merasa senang dengan materi tersebut, kurikulum pendidikan Islam juga memperhatikan keterkaitan antara lingkungan dengan lembaga pendidikan dan peserta didik, sehingga penyusunan kurikulum selalu disesuaikan dengan kebutuhan social masyarakat di wilayah tertentu,  dari segi lain pendidikan Islam bersifat dinamis dan bisa menerima dinamika perubahan bila diperlukan, kurikulum pendidikan Islam juga mempunyai sifat keserasian antara mata pelajaran, kandungan, dan kegiatan-kegiatan pembelajaran.[23]
Cirri kurikulum pendidikan islam tersebut jelas mempunyai perbedaan dengan kurikulum pendidikan umum, dalam hal ini misalnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mempunyai cirri sebagai brikut :
a.      Menekankan ketercapaian Kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal
b.     Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaan
c.      Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi
d.     Sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber lainnya yang mempunyai unsure edukatif
e.      Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

4.   Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Dengan melihat ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam di atas, kurikulum pendidikan Islam disusun dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut :
a.      Prinsip pertautan dengan Agama, artinya bahwa semua elemen kurikulum baik aspek tujuan, materi, alat dan metode dalam pendidikan Islam selalu menyandarkan pada dasar-dasar ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.     Prinsip Universal, universal disini dimaksudkan bahwa tujuan dan cakupan kurikulum pendidikan Islam harus mencakup semua aspek yang mendatangkan manfaat, baik bagi peserta didik, baik yang bersifat jasmaniyah maupun rohaniyah. Cakupan isi kurikulum menyentuh akal dan qalbu peserta didik. Pendidikan yang dikembangkan sebisanya dikembangkan bukan pendidikan sekuler, melainkan sebaliknya yaitu pendidikan rasional yang mempunyai arti mengajarkan materi-metari yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat dan dunia bagi peserta didik. Dengan demikian dalam pendidikan Islam tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu Agama.[24]
c.      Prinsip keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan dengan cakupan materi yang akan diberikan kepada peserta didik. Keseimbangan ini meliputi materi yang bersifat religi-akhirat dan profane-keduniaan dengan mencegah orientasi sepihak saja.
Hakikat dari prinsip keseimbangan ini , didasarkan pada firman Allah Swt dalam surat al-Qashas ayat 77.









Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri kalian, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sessungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ayat tersebut adalah perintah yang bersifat wajib, artinya umat Islam wajib melaksanakan keseimbangan hidup antara keduniaan dan keakhiratan, kesimbangan cara berfikir bersifat rasional dan hati nurani. Apabila kita kaitkan dengan penyusunan kurikulum maka pedoman kurikulum mencerminkan keseimbangan tujuan pembelajaran dan materi-materi yang diarahkan pada pencapaian keseimbangan tujuan duniawi dan tujuan ukhrowi.
d.     Prinsip keterkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan pelajar, dengan lingkungan sekitar baik fisik maupun social. Dengan prinsip ini kurikulum pendidikan Islam berkeinginan menjaga keaslian peserta didik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini selaras dengan pendapat Jean Peaget tentang pendidikan, ia mengatakan bahwa pindidikan harus diindividulisasikan dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan berbeda dari satu individu dengan individu yang lain, konsekuensinya materi pendidikan harus memperhatikan pebedaan peserta didik.[25]
e.      Prinsip fleksibelitas, maksdunya kurikulum pendidikan Islam dirancang dan dikembangkan berdasakan prinsip dinamis dan up to date terhadap pekembangan dan kebutuhan masyarakat, bangsa dan Negara. Anak didik yang berkarakte menjadi dambaan bukan hanya sebagai orang tua tetapi juga menadi kebutuhan bangsa dan Negara mengingat anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan mengemban amanat kepemimpinan di masa yang akan datang. [26]
f.      Prinsip memperhatikan perbedaan individu, peserta didik merupakan pribadi yang unik dengan keadaan latar belakang social ekonomi dan psikologis yang beraneka macam, maka penyusunan kurikulum pendidikan Islam haruslah memperhatikan keberAgamaan latar belakang tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri.
g.     Prinsip pertautan antara mata pelajaran dengan aktifitas fisik yang tercakup dalam kurikulum pendidikan Islam. Petautan ini menjadi urgen dalam rangka memaksimalkan peran kurikulum sebagai sebuah program dengan tujuan tercapainya manusia yang berakhlak.[27]
Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, al-Syaibani mengatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam merupakan kurikulum yang diilhami oleh nilai dan ajaran Agama Islam, yang selalu berkomitmen memperhatikan aktifitas manusia modern. Meskipun dikatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam bersifat fleksibel dengan mengikuti dinamika perubahan zaman, namun tetap dengan memegang teguh identitas keIslamannya.
Lebih lanjut, al-Abrasyi memberikan pemahaman tentang kurikulum pendidikan   Islam berdasarkan prinsip-prinsip al-Syaibani dengan menitik beratkan kepada 6 hal, yaitu :
a.      Materi yang bersifat keAgamaan diberikan kepada peserta didik dengan maksud terbentuknya jiwa peserta didik yang sempurna dan utama.
b.     Materi keAgamaan mendapatkan prosi yang lebih dibandingkan ilmu yang lain karena materi ini merupakan sendi pembentukan moral yang luhur
c.      Selain memberikan materi yang bersifat keAgamaan, kurikulum pendidikan Islam juga menaruh perhatian terhadap materi yang bersifat keduniaan, dengan tujuan memberikan pengalaman untuk bergaul dengan sesame manusia.
d.     Ilmu pengetahuan yang yang dipelajari dalam Islam memperhatikan prinsip ilmu untuk ilmu, yang karenannya mempelajari pengetahuan dalam pandangan para pemikir Islam merupakan suatu kenikmatan.
e.      Pendidikan kejuruan, teknik dan perindutrian diperhatikan dalam pendidikan Islam sebagai alat pencari penghidupan.
f.      Suatu materi adalah alat dan pembuka untuk mempelajari ilmu-ilmu lain. [28]
Dalam penilaian Al-Abrasy perbedaan penting antara kurikulum pendidikan Islam denga kurikulum pendidikan pada umunya adalah bahwa kurikulum pendidikan Islam tujuan utamanya adalah segi keruhanian, akhlak dan moral keIslaman, sementara pendidikan umum tujuannya adalah menggapai segi keduniaan dan materi.
Dengan melihat cirri dan prinsip kurikulum diatas, Abdul Rahman Salih Abdullah sebagimana dikutib oleh Toto Suharto mengkaalsifikasi domain kurikulum kedalam 3 ranah sebagai berikut :
a.      Al-Ulum al-Diniyah, yaitu ilmu-ilmu keIslaman normative yang menjadi rujukan bagi segala ilmu yang ada
b.     Al-Ulum al-Insyaniyah yang meliputi ilmu-ilmu social dan humaniora yang berkaitan dengan manusia dan pergaulannya, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, pendidikan dan lain-lain
c.      Al-Ulum Al-Kauniyah, merupakan ilmu alam dengan prinsip kea rah kepastian, seperti matematika, fisika, kimia, biologi dan lain-lain.[29]
Dengan ketiga ranah ini pendidikan Islam  secara tegas menolak dualisme dan sekulerisme kurikulum, sebab dulaisme kurikulum dapat mendatangkan dua macam bahaya yang pertama ilmu-ilmu keIslaman akan mendapat derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan ilmu keduniaan, kedua lahirnya integrasi sekulersme yang mengorbankan domain Agama, yang selanjutnya dapat menstigmakan konsep anti Agama.
Selain cirri dan prinsip kurikulum sebgaaimana disebutkan di atas Samsul Nizar memberikan pembagaian asas kurikulum pendidikan Islam sebagaimana berikut :
a.      Asas Agama
Semua system yang ada dalam masyarakat Islam termasuk system pendidikannya harus meletakkan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah, muamalat dan hubungan yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini bermakna bahwa semua itu akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sementara sumber-sumber lain sepert ijma’, qiyas, istihsan merupakan penjabaran dari kedua sumber tersbut. Pembentkan kurikulum pendidikan Islam harus diletakkan pada apa yang telah digarskan oleh sumber-sumber tersebut dalam rangka menciptakan manusia yang bertaqwa sebagai hamba dan tegar sebagai khalifah Allah di muka Bumi.
b.     Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Isam dengan dasar filosofis, sehingga susuanan kurikulum pendidikan Islam mengandung kebenaran, terutama dar sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar filsafah ini membawa konsekuensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontology, epistemology, dan aksiologi yang digali dari pemikiran masnuia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
c.      Asas Psikologis
Asas ini member arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalaui anak didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan cirri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa dan social, kebutuhan dan keinginan, minat, kecakapan, perbedaan individual dan lain sebagainya yang berhubngan dengan aspek-aspek psikologis.
d.     Asas Sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu kea rah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa kecenderungan dan perubahan yang telah dan akan terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai malkhluk social harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar output yang dihasilkan pendidikan Islam adalah manusia-manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.[30]
Keempat asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum pendidikan Islam. Pelu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsure tauhid, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan pribadinya sebagai individu dan pengebangannya dalam kehidupan social.[31]


5.     Pandangan Montessori tentang Kurikulum
Maria Montessori adalah seorang dokter yang mempunyai pandangan pendidikan yang mengutamakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik termasuk kegiatan-kegiatan harian yang disebut dengan filsafat gerakan Montessori. Pada awalnya pandangannya mendapatkan sambutan yang hangat dari masyarakat karena seuai dengan kondisi anak terutama pendidikan anak usia dini, dalam beberapa waktu mendapat kritikan namun juga mendapat pengaruh kembali.
Filsafat Monetssori tentang gerakan tubuh menyediakan  alternative yang banyak terhadap dualism kartesian tentang pembedaan antara pikiran dan badan yang keduanya tidak berkaitan sama sekali, yang dikemukkan oleh Bapak Filsafat Modern Rene Descartes. Masalah ini kemudian meningkat dan banyak mendapat perhatian dari para filsuf.
Secara tradisional gearakan adalah bagian tubuh fisik kita, namun Montessori membuat terobosan baru dengan mengkategorisasikan ulang gerakan tubuh yang disengaja sebagai penenagah antara pikiran dan badan. Bahkan penemuan medis baru-baru ini sangat mendukung teorinya bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara pikiran dan tubuh, sehingga sebuah pikiran yang sakit akan membuat fisik seseorang juga menjadi sakit.
Dalam pandangan filsafat Monetssori gerakan memainkan peranan penting dan sebuah pengembangan gerakan tubuh dapat membentuk keribadian seseorang. Sehingga memberikan kebebasan bergerak sebagai bentuk nyata kebebasan harus tersedia dalam hubungannya membangun karakter anakn.
Montessori menekan pentingnya aktifitas-aktifitas jasmaniyah untuk menunjang karekter peserta didik melalui aktifitas-aktifitas di luar  ruangan kelas seperti out bond, olah raga, memanah. Maka menurut Montessori hendaknya kurikulum yang akan disusun sebuah lembaga haruslah mengembangkan materi yang bersifat aktifitas nyata dan tidak hanya mengerjakan LKS dan buku semata, hal itu dengan tujuan terciptanya makhluk rasional dan berkarakter.
Filsafat Monetssori ini juga menjadi landasan penyusunan kurikulum mata pelajaran Pendidikan Jasmani (Penjas) yang disampaikan mulai usia Paud sampai SMA dan tida diterapkan pada usia perguruan tinggi. Apabila ditelaah lebih lanjut hal ini masuk akan sebabab anak usia Paud sampai dengan SMA masih mengalami masa pertumbuhan fisik. Hal ini menurut Monetssori harus dikelola dengan baik agar gerakan fisik mempunyai efek yang positif terhadap kesehatan akal dan jiwa.
Sebegitu urgensinya gerakan fisik bagi peserta didik kemudian muncul istilah Mensana in corpora sanu di dalam tubuh yang sehat terdapat akal/jiwa yang sehat. Sekali menegaskan akan pentingnya olah tubuh bagi seseorang sehingga memunculkan kurikulum olah raga pada jenjang pendidikan dsar sampai atas.

C.    PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istilah kurikulum yang diadopsi dari dunia olah raga menjadi terintegrasi dalam dunia penidikan menjadi suatu program yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan tertentu. Yang membedakan kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pada umumnya terletak pada integrasi nilai-nilai keIslaman pada aspek-aspek kurikulum, begitu pula prinsip yang menjadi arah pendidikan Islam juga menonjolkan keterpautan dengan ajaran Islam Al-Qur’an dan Al-hadits, Montessori berpandangan pentingnya masalah aktifitas belajar untuk menciptakan karakter siswa.























Daftar Pustaka
Al-Syaibani, Omar Mohammad al-Toumy terjemah Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010
Arifin, Zainal, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam, Jogjakarta: DIVA Press, 2012
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2009
Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2011
Hariyati, Mimin, Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta : Gaung Persada Press, 2007
Hasibuan, Lias, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010
Hergegenhan, B.R. dan Mattew H Olson, Theories of Learning (Teori Belajar), Jakarta : Kencana, 2010
Hernawan, Asep Herry dan Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011
Idi, Abdulllah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta : Ciputat Pers, 2002
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya: PSAPM, 2004
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 1998
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011
Syukur, Fatah, Teknologi Pendidikan, Semarang : Rasail Media Group, 2008
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010
Thobroni, Muhammad dan Arif Mustafa dalam, Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran Dalam Pengembangan Nasional, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006



[1] Fatah Syukur, Teknologi Pendidikan, (Semarang : Rasail Media Group, 2008), 1.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010), 99.
[3] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), 145.
[4] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 77.
[5] Asep Herry Hernawan dan Riche Cyntia dalam , Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), 2. Lihat juga Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam, (Jogjakarta: DIVA Press, 2012), 35.  Lihat juga Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), 61.
[6] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011), 125.
[7] Ibid, 125.
[8] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2004), 183.
[9] Ibid, 183
[10] Toto Suharto, 126.
[11] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 61.
[12] Abdulllah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011), 207. Lihat juga Mimin Hariyati, Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007), 1.
[13] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010), 127.
[14] Syaiful Bahri Djamarah merinci aktifitas belajar meliputi mendengar, memandang, meraba, membau, mengecap, menulis atau mencatat, membaca, membuat paper, mengingat, berfkir dan latihan atau gerak. Lihat Psikologi Belajar, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), 38-45
[15] Ibid, 128.
[16] Ibid, 129.
[17] Bisa disitilahkan juga dengan kecakapan hidup (skill) sebagaimana yang dikatakan M. Thobroni dan Arif Mustafa dalam, Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran Dalam Pengembangan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 231.
[18] Lias hasibuan, 129.
[19] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), 61.
[20] Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani terjemah Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 490.
[21] Ibid, 491-498.
[22] Toto Suharto, 130.
[23] Omar Mohammad al-Toumy Al-Syaibani, 512-518.
[24]  Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), 129-130.
[25] B.R. Hergegenhan dan Mattew H Olson, Theories of Learning (Teori Belajar), (Jakarta : Kencana, 2010), 324.
[26] Hasan basri, 130.
[27] Toto Suharto, 131.
[28] Toto Suharto, 131-132.
[29] Toto Suharto, 132-133.
[30][30] Samsul Nizar, 29-30.
[31] Samsul Nizar, 31.