BIOGRAFI IMAM AL-NASA’I (215-303 H)
( Oleh A’an Minan Nur Rohman )
Abstraksi
Al-Nasa’i mempunyai nama lengkap Abu Abd
al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani
al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. An-Nasa’i merupakan seorang laki-laki yang tampan, berwajah
bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala, beliau adalah sosok
yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik.
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang
di daerah Nasa’. Beliau
berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau
juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di
daerahnya. Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke
berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain
sebagainya.
Diantara guru-gurunya antara lain;
Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin
Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud),
serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).Sementara
murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau,
antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam),
Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah
bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama
yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai
“penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Karangan-karangan beliau yang sampai
kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan
al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari
kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais
Ibn al-Jauzy pengarang kitab al
Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di
dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih,
namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’
di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan
al-Sughra. Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya
monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras
pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan
al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit.
I. PENDAHULUAN
Sebagai seorang mukmin kita
berkewajiban menerima dan membenarkan semua ajaran Rosululloh Saw tanpa
terkecuali, yang mana ajaran-ajaran tersebut disampaikan kepada sahabat-sahabat
terdekat beliau yang disebut Khulafa al-Rasyidin.[1]
Generasi Khulafa al-Rasidin
dianggap sebagai generasi yang paling dekat dengan Rosululloh, dari kedekatan
ini berimplikasi kepada keshahehan ajaran-ajaran
yang datangnya dari Nabi. Generasi Tabi’in mendapatkan berita-berita dari para
sahabat pertama dan disampaikan pula kepada generasi-generasi berikutnya hingga
sampailah kepada seorang perawi.
Salah satu perawi yang
terkenal adalah Imam an-Nasa’I, makalah sederhana ini berusaha memberikan
informasi tentang kelahirannya, pengembaraan intelektualnya, karya-karyanya
serta pendapat-pendapat ulama tentang beliau.
II.
PEMBAHASAN
A. Kelahiran dan
Sifat-Sifatnya
Nama lengkapnya adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin
Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’
pada tahun 215 H.[2] Beliau dinisbahkan kepada
daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli
hadis kaliber dunia yang berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian
hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan
al-Nasa’i[3]
An-Nasa’i merupakan seorang
laki-laki yang tampan, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu
yang menyala, beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan
yang sangat menarik. Kondisi itu karena beberapa faktor, diantaranya karena
beliau sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari segi makanan, pakaian dan
kesenangan minum sari buah yang halal dan banyak makan ayam.
B. Pengembaraan
Intelectual
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah
Nasa’. Beliau berhasil
menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga
banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya.
Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun
mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau
bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu
Hadis.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar
ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain
sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan
pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua
imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui,
sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia
dini. Dan itu merupakan ciri
khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan
berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya
di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah
inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa
pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
C. Guru dan Murid-Muridnya
Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai
banyak pengajar dan murid.
Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena
sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih,
al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi
Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan
al-Tirmidzi).[4]
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa
dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang
tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir
al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby,
dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai
murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam
meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.[5]
D. Karya-Karyanya
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu
hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan
yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap
kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan
beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara
lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan
bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail
al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh
Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini
disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i [6]
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i,
kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis
kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota
Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa’i,
“Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan
kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka
pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau
kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan
al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan
al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan
saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan
dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis
yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar
“Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit
sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang
termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan
hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini
juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim
dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi
hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat,
kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini
terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan
al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba.
Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan
al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya,
kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.[7]
E. Komentar para Ulama’
a. Kritik Ibn al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap
pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya
bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi
adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan
bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu
(palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang
dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut
pandangan beliau.[8]
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab
pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau
hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil
kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis
yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak
untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al
Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di
dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih,
namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’
di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan
al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih
menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang
maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan
masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas
sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai
keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh
Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan
itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.[9]
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya
monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras
pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan
al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif.
Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan
kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalam Sunan
al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy.
Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan
al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang
menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli.
Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan
al-Nasa’i berkualitas shahih.
b. Komentar Ulama’
1.
Abu ‘Ali An-Naisaburi
menuturkan : “ belaiau adalah tergolong dari kalangan imam kaum muslimin”.
Sekali waktu dia menuturkan beliau adalah imam dalam bidang hadits dengan tidak
ada pertentangan “
2.
Abu Bakr al-Haddad as-syafi’i
menuturlan : “aku ridlo dia sebagai hujjah antara aku dengan Allah ta’ala “
3.
Manshur bin Isma’il dan
Ath-Thahawi menuturkan : “beliau adalah salah satu imam kaum muslimin”
4.
Abu Sa’aid bin Yunus menuturkan
:”beliau adalah seorang imam dalam hadits, tsiqah, tsabat dan hafidz”
5.
Al-Qosim al-Muththarriz
menuturkan : “beliau adalah seorang imam atau berhak mendapat gelar imam”
6.
Ad-daruqutni menuturkan :”Abu
abdirrahman lebih mendahulukan dari semua orang yang disebutkan dalam disiplin
ilmu pada masanya “
7.
Ibnu Nuqthoh menuturkan :
“beliau adalah seorang imam dalam disiplin ilmu ini “
8. Al-Mizzi
menuturkan : “beliau adalah seorang imam yang menonjol dari kalangan para
hafidz dan para tokoh yang terkenal “[10]
F. Contoh Hadits Imam
Al-Nasa’i
اَخْبَرَنَاحُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ
وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الاَعْلَى عَنْ يَزِيْدَ وَهُوَ ابْنُ زُرَيْعِ قَالَ :
حَدَّثَ نِيْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ اَبِى عَتِيْقِ قَالَ : حَدَثَنِيْ اَبِي
قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيْ ص م قَالَ : السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ
لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ][11]
Artinya : Nabi Muhammad
bersabda Syiwak itu membersihkan mulut dan akan mendapatkan ridlo dari Allah
Swt.
G. Tutup Usia
Setahun menjelang kemangkatannya,
beliau pindah dari mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus tentang
tempat meninggal beliau. Al-daruqutni mengatakan beliau meninggal di Makkah dan
dikebumikan diantara Shafa dan Marwah, pendapat senada juga disampaikan oleh
Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-“Uqbi al-mashri.
Sementara ulama lain seperti ad-Dzahabi
menolak pendapat tersebut ia mengatakan Imam Al-Nasa’i meninggal di Ramlah
(Palestina) pada hari Senin 13 Shafar tahun 303 H (915) , pendapat ini .didukung
oleh Ibnu Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (Murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah.[12]
III. KESIMPULAN
1.
Nama lengkap Imam Al-Nasa’i
adalah adalah Abu
Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di
daerah Nasa’ pada tahun 215 H
2. Imam
Al-Nasa’i melakukan
pengembaraan intelektual ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq,
Syam, Khurasan, dan lain sebagainya untuk menambah khazanah keilmuannya dalam
bidang hadits
3. Diantara
karya-karyanya yang terkenal adalah al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan
al-Manasik.
4.
Banyak ulama yang
mengomenterainya sebagai Imam Hadits seperti disampaikan oleh Abu ‘Ali An-Naisaburi,
Abu Bakr al-Haddad as-syafi’i, Ad-daruqutni. Namun ada pula yang memberi
kritikan seperti Al-Jauzu’i
5.
Imam Al-Nasa’i Meninggal dunia
pada tahun 303 H atau bertepatan dengan tahun 915 M. Ada ulama yang mengatakan
meninggal di Makkah adapula yang mengatakan di Ramlah (Palestina)
DAFTAR PUSTAKA
al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu
Ushul Hadis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009)
al-Syuyuthi, Jalaluddin, Syarah Sunan al-Nasa’i, (Mesir : Dar
al-Fikri, TT, Jilid I)
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Lu’lu’
Wal Marjan Terjemah Salim Bahreisy (Surabaya: PT.Bina Ilmu, TT, Jilid II).
Rahman, Fatkhur, Ikhtishar
Mushthalahul Hadits, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1987)
Suyadi,M. Solahudin, Agus, Ulumul Hadis , (Bandung :
Pustaka Setia, 2009)
[1] Muhammad
Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ Wal Marjan Terjemah Salim Bahreisy (Surabaya: PT.Bina Ilmu,
TT), xxxiv.,
[2] Adapula ulama yang mengatakan Imam
an-Nasa’I dilahirkan pada tahun 214 H. lihat Biografi Imam an-Nasa’i dalam http://www.nikmatberbagi.com
diakses pada 27 Desember 2011
[3] Fatkhur Rahman, Ikhtisar Mustholatul Hadits, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1987), 334
[4] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul
Hadis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 203.
[5] Ibid,
203.
[6] M.
Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis , (Bandung : Pustaka Setia, 2009), 237
[7] Ibid,
238.
[9]
M.Solahudin, Agus Suyadi, 237
[10] Biografi
Imam an-Nasa’I dalam http://lidwa.com
diakses pada tanggal 27 Desember 2011
[11]
Jalaluddin al-Suyuthi, Syarah Sunan
al-Nasa’I, (Mesir : Dar al-Fikri,TT,Jilid I), 28-29
[12] Biografi
Ahlul Hadits, dalam Website www.Ahlulhadits.Wordprescom diakses
pada 27 desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar