PROBLEMATIKA DAN
PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh Aan Minan Nur
Rohman
A.
Pendahuluan
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, tengah memasuki dunia
tanpa batas (borderless world) sebagai akibat perkembangan teknologi
komunikasi, globalisasi komunikasi, dan kesepakatan-kesepakatan internasional.[1] Dampaknya
Negara ini harus terbuka terhadap aktifitas social, ekonomi, budaya, dan
komunikasi, sehingga menuntut tersedianya modal manusia berupa kecakapan hidup
bemutu.
Berbagai temuan tentang rendahnya kualitas SDM
Indonesia telah dikemukakan di berbagai forum maupun media massa. Baik mengenai Peringkat Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia,[2]
khususnya pada peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per
kepala, makin lama makin menurun. tingginya
angka putus sekolah, sistem pendidikan yang berubah-ubah.
Bertolak
dari berbagai gambaran di atas, dapat dilihat bahwa ada permasalahan besar dan
mendasar dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yaitu rendahnya mutu
sistem pembelajaran atau sistem pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan pengembangan sistem pendidikan nasional yang mampu mengatasi
persoalan-persoalan tersebut.
Makalah
sederhana ini berusaha menyampaikan tantangan dan permasalahan pendidikan di
Indonesia beserta paradigma baru pendidikan nasional sebagai solusi
alternatifnya.
B. Problematika Pendidikan di Indonesia
Pendidikan
nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu
masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai
krisis yang terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam
perubahan yang terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari
kebudayaan, dan telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat
sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai
dengan tuntutan masyaraka
H A R Tilaar
membagi tantangan pendidikan nasional menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1)
tantangan internal, dan (2) tantangan global. Tantangan internal meliputi
masalah kesatuan bangsa, demokratisasi pendidikan, desentralisasi manajemen
pendidikan, dan kualitas pendidikan. Sedangkan tantangan global meliputi:
pendidikan yang kompetitif dan inovatif, dan identitas bangsa.[3]
1.
Tantangan Internal
a. Kesatuan Bangsa
Berkaitan
dengan masalah kesatuan bangsa, nilai-nilai kesatuan bangsa hanya dapat
ditanamkan di dalam proses pendidikan, apabila peserta didik menghayati
kesatuan antara apa yang mereka pelajari di sekolah, dengan apa yang diperbuat
oleh para orang tua dan para pemimpin masyarakat. Rasa kesatuan bangsa berarti pula seseorang bangga
menjadi bangsa Indonesia. Apabila suatu bangsa terpuruk bukan hanya dari segi
ekonomi tetapi lebih lebih dari segi moral dan etika, maka tidak mungkin seseorang
merasa bangga sebagai anggota suatu bangsa. Kebanggaan sebagai suatu bangsa
merupakan suatu kebanggaan moral dan etis. Inilah masalah yang pertama dan
utama di dalam pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat Indonesia
baru. Rasa bangga menjadi orang Indonesia berarti pula bangga dengan kebudayaan
Indonesia.
b. Demokratisasi pendidikan
Tantangan
internal yang kedua, yaitu demokratisasi pendidikan. Kehidupan demokrasi adalah
kehidupan yang menghargai akan potensi individu, yaitu individu yang berbeda
dan individu yang mau hidup bersama. Dengan demikian segala jenis homogenisasi
masyarakat yaitu menyamaratakan anggota masyarakat menuju kepada uniformitas
adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi. Termasuk di
dalamnya pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan inti dari kehidupan
demokrasi di segala aspek kehidupan. Begitu juga dalam bidang pendidikan, semua
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik,
juga memiliki kewajiban yang sama untuk membangun pendidikan nasional yang
bermutu.[4]
Demokrasi bukan hanya masalah prosedur
atau susunan pemerintahan, tetapi terutama adalah merupakan nilai-nilai.
Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang mengakui akan kehormatan atau
martabat manusia (human dignity). Oleh sebab itu, proses pendidikan
nasional dapat dirumuskan sebagai proses hominisasi dan proses humanisasi.
Pendidikan tidak hanya sekedar menghidupi peserta didik, tetapi juga
mengembangkannya sebagai manusia (human being), atau pendidikan yang memanusiakan.[5]
c. Desentralisasi Manajemen
pendidikan
Desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan dan kebudayaan di daerah akan berimplikasi langsung di dalam
penyusunan dan penentuan kurikulum yang saat ini masih sentralistis dan
memberatkan peserta didik. Desentralisasi pendidikan dan kebudayaan meminta
artikulasi dalam semua jenis pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi
diarahkan kepada kebutuhan perkembangan sumber-sumber alam dan sumber-sumber
manusia yang terdapat di daerah. Dengan demikian, masalah akuntabilitas
pendidikan yang selama ini telah mengasingkan pendidikan dari kehidupan
masyarakat akan dapat diatasi. Community-based education atau school-based
education merupakan wujud nyata dari demokratisasi dan desentralisasi
pendidikan. Dalam kaitan ini, pendiidkan yang diinginkan adalah pendidikan
pemberdayaan, yaitu pendidikan yang bertujuan memberdayakan setiap anggota
masyarakat untuk dapat berprestasi setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan
yang telah dikembangkan di dalam dirinya sendiri
d. Kualitas pendidikan
Terkait dengan masalah kualitas pendidikan, dari berbagai unsure
penyelenggaraan pendidikan, dapat dilihat betapa sulitnya peningkatan kualitas
pendidikan dengan sarana yang terbatas, dana pendidikan yang minim, penghargaan
kepada profesi guru yang sangat rendah, dan terbatasnya berbagai sarana
penunjang pendidikan lainnya.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu syarat mutlak untuk
mempercepat terwujudnya suatu masyarakat yang demokratis. Dalam kaitan ini
perlu digarisbawahi bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya pendidikan
yang mengembangkan intelegensi akademik, namun perlu mengembangkan seluruh
spektrum intelegensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan.
Pendidikan formal bukan hanya mengembangkan intelegensi skolastik tetapi juga
intelegensi emosional, spasial, interpersonal, intrapersonal, dan seterusnya.
Sistem pendidikan nasional haruslah memberikan kesempatan untuk perkembangan
spektrum intelegensi yang luas tersebut.
2.
Tantangan Global
a. Pendidikan yang kompetitif
dan inovatif[6]
Selanjutnya
yang terkait dengan tantangan global yang pertama adalah pendidikan yang
kompetitif dan inovatif. Pendidikan dalam millenium ketiga adalah adalah
pendidikan yang mengembangkan sikap inovatif. Hal ini sejalan dengan kehidupan
demokrasi yang memerlukan anggota-anggota yang bukan merupakan robot, tetapi
manusia-manusia yang kreatif dan inovatif. Hanya dengan sikap demikian, suatu masyarakat
demokrasi akan semakin lama semakin maju dan semakin meningkat kualitasnya.
Masyarakat dan individu yang kompetitif serta dapat bekerja sama , didorong
oleh sikap inovatif merupakan paradigma baru dari berbagai negara di dunia. Hal
ini sangat ditekankan di dalam sistem pendidikan, lebih-lebih di dalam
menghadapi kehidupan global dengan pasar bebasnya yang kompetitif. Suatu sistem
pendidikan dapat saja menghasilkan tenaga-tenaga pemikir yang berkembang, namun
apabila tidak inovatif maka kemampuan berpikirnya tidak akan bermanfaat dalam
kehidupan bersama. Di masa depan, hanya bangsa yang inovatif yang mempunyai
daya saing besar yang dapat menguasai kehidupan dunia.
b. Identitas bangsa
Masalah
kedua yang terkait dengan tantangan global adalah identitas bangsa. Kehidupan
global akan melahirkan kebudayaan global. Dewasa ini dapat dilihat betapa
kebudayaan global telah mulai melanda kehidupan global yang tanpa batas. Di
satu pihak, budaya global dapat membuka cakrawala pemikiran anggota masyarakat,
namun juga kemungkinan masuknya unsur-unsur kebudayaan global yang negatif akan
dapat meracuni kehidupan generasi muda. Oleh sebab itu, semakin penting adanya
suatu kesadaran akan identitas sebagai suatu bangsa. Identitas suatu bangsa
merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi perkembangan pribadinya, namun
juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi pengaruh-pengaruh negatif dari
kebudayaan global. Tugas pendidikan nasional adalah mengembangkan identitas
peserta didik agar dia bangga menjadi bangsa Indonesia yang dengan penuh
percaya diri memasuki kehidupan global sebagai seorang Indonesia yang
berbudaya. Pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar
yang terdidik, tetapi yang lebih penting adalah manusia yang terdidik dan
berbudaya (educated and civilited human being).
Demikianlah
tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia, yang bukan merupakan hal
mudah untuk diatasi. Sebagaimana perubahan suatu kebudayaan, maka dituntut
kerja keras, perencanaan yang matang, pengerahan sumber-sumber untuk menunjang
pelaksanaan. Lebih-lebih dalam masyarakat Indonesia—yang masih dalam masa
transisi dan harus belajar hidup demokarsi yang sesungguhnya—maka tugas
nasional ini memerlukan suatu komitmen politik. Komitmen politik berarti adanya
suatu keterikatan moral dari seluruh anggota masyarakat dalam
rancangan-rancangan kehidupan bersamanya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
baru melalui sistem pendidikan nasional.
Selanjutnya
menurut H A R Tilaar ada Empat
Indikator perkembangan sistem pendidikan yaitu; 1) popularisasi pendidikan 2)
sistematisasi pendidikan 3) proliferasi pendidikan, dan 4) politisasi
pendidikan.[7]
a.
Popularisasi Pendidikan
Pada jaman kolonial pendidikan hanyalah hak dari
sekelompok kecil masyarakat, sedangkan masyarakat luas boleh dikatakan
mendapatkan pendidikan yang sangat terbatas dan diskriminatif atau diserahkan
kepada praktek pendidikan tradisional tanpa bantuan dari pemerintah, bahkan
dikucilkan. Namun dengan proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945, pendidikan telah dianggap sebagai hak
semua orang. Hasilnya adalah lahirlah gerakan “more eduction” atau dikenal sebagai (education explosion). Selanjutnya
lahirlah apa yang disebut teori pemberantasan kemiskinan melalui
pemutusan lingkaran setan yang menyebabkan kemiskinan absolute. Salah satu
faktornya ialah rendahnya pendidikan.
Memang benar tingkat pendidikan yang rendah tidak dapat
membawa manusia kepada kehidupan yang layak, maka lahirlah education for all yaitu pendidikan telah merupakan suatu kebutuhan
pokok (basic needs) di dalam
kehidupan manusia. Di dorong oleh perinsip ini maka maraklah antara lain
program-program wajib belajar. Indonesia melaksanakan wajib belajar sekolah
dasar 6 tahun yang telah dicapai pada tahun 1984 dengan penghargaan Aviciena
dari UNISCO kepada presiden republik Indonesia. Kesuksesan wajib belajar 6
tahun dilanjutkan dengan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.
b.
Sistematisasi pendidikan
Untuk meningkatkan mutu dan standar pendidikan
nasional maka diadakanlah berbagai usaha dan peraturan untuk menyeragamkan
pendidikan nasional. Berdasar dari asumsi-asumsi efisiensi dan keseragaman maka
pendidikan nasional diusahakan diatur melalui undang-undang positif serta berbagai peraturan yang
menjamin uniformitas suatu sistem. Demikianlah kita mulai mengenal norma-norma
nasional yang dicapai melalui ujian nasional seperti EBTANAS dan UMPTN.
Berbagai cara dilaksanakan dengan menerapkan prinsip TQM (Total Quality Management) di dalam bidang pendidikan untuk mencapai
mutu pendidikan yang dicita-citakan. Berbagai tes-tes standar dikembangkan
untuk menyeragamkan mutu pendidikan diseluruh negeri.
c.
Proliferasi pendidikan[8].
Ketika memproklamirkan kemerdekaan, pendidikan boleh
dikatakan sebagian besar diartikan sebagai pendidikan di sekolah. Pada tahun
1950 pendidikan formal juga menganndung arti pendidikan untuk masyarakat.
Tampak di dalam UU No. 4 Tahun 1950 yang terutama diarahkan
kepada pendidikan disekolah atau dengan kata lain yang berkaitan dengan
pengajaran. Di dalam perkembangan masyarakat kita, ditambah pula dengan
kemajuan tegnologi, maka pengertian dan lingkupan pendidikan menjadi lebih luas
lagi dengan munculnya berbagai sarana prasarana pendidikan yang dulunya tidak
dikenal oleh masyarakat.
Sehingga kita mengenal pendidikan maya (virtual education) yang menggelobal.
Dengan demikian terjadi proleferasi yang sangat cepat baik di dalam pendidikan
formal, non formal, maupun informal. Multifikasi dari jenis dan sumber
pendidikan telah memberikan banyak masalah yang dulu tidak dikenal di dalam
managemen pendidikan. Sejalan dengan proliferensi pendidikan maka tanggung
jawab pendidikan tampaknya lama-kelamaan bergeser dari pendidikan keluarga ke
lingkungan di luar keluarga bahkan diluar gedung sekolah.
d.
Politisasi pendidikan
Antara pendidikan dan politik terdapat kaitan yang
sangat erat. Keduanya pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Keduanya mempunyai titik ringgung yang sama ialah pertanyaan mengenai
tujuan hidup manusia dan masyarakat.[9]
Keduanya menginginkan adanya kehidupan yang
berbahagia. Keduanya juga diarahkan bagaimana mencipta pribadi dan masyarakat,
yang membentuk kehidupan bersama, dapat menciptakan kehidupan yang bahagia,
namun demikian di dalam sejarah perkembangan lahirnya Negara-negara, peranan
pendidikan di dalam kehidupan politik sebenarnya tidak begitu besar. Meskipun
diakui bahwa tanpa pedidikan, kehidupan bersama yang berbahagia di dalam suatu
negara tidak dapat diciptakan. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa politik
(partai politik) memperebutkan pendidikan sebagai sarana untuk melanggengkan
kehidupan politiknya. Melalui proses pendidikan dapat dialihkan
pemikiran-pemikiran, ide-ide, dan cara-cara untuk mewujudkan kehidupan bersama
yang berbahagia. Dengan demikian mudah dimengerti mengapa terjadi proses
politisasi terhadap pendidikan nasional.
C. Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Berdasarkan uraian mengenai refleksi
sejarah pendidikan di Indonesia, permasalahan-permasalahan pendidikan, dan
dengan mempelajari contoh sukses sistem pendidikan di Jepang dan Cina,
selanjutnya dirumuskan paradigma baru pendidikan di Indonesia.[10]
Selanjutnya belajar dari kesuksesan negara
Jepang dan China dalam pembangunan pendidikannya, beberapa hal yang perlu
dicatat adalah: (1) adanya komitmen pemerintah, ditunjang dengan penyediaan
dana pendidikan yang memadai, sarana penunjang pendidikan yang layak, serta
hukum dan peraturan yang menjamin kepentingan pengembangan pendidikan (2)
adanya keterlibatan masyarakat dan pihak industri serta pemangku kepentingan
yang lainnya (stake holders) untuk bersama-sama memberikan kontribusi
yang signifikan bagi kemajuan pendidikan, (3) pendidikan yang tidak
sentralistis, (3) kurikulum pendidikan yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat, serta metode pembelajaran yang kompetitif dan inovatif, dan (4)
kecintaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah membudaya dalam
masyarakat, termasuk peserta didik di semua jenjang dan jalur pendidikan.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka
paradigma pendidikan perlu diredefinisikan. Rumusan paradigma baru tersebut
diharapkan mampu memberikan arah yang benar, sesuai denga peran pendidikan
nasional yang secara makro dituntut untuk membantu mengantarkan masyarakat
Indonesia menuju masyarakat Indonesia baru, yang dinamakan masyarakat madani (civil
society), yakni masyarakat yang demokratis, religius, dan tangguh
menghadapi lingkungan global yang kompetitif.
Peran pendidikan seharusnya dipahami bukan
saja dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses
interaksi pendidikan), namun juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan
masayarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan
masyarakat dunia. Hubungan
pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan
sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara. Oleh karena pendidikan terjadi di
masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka
pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi
terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara
silmultan. Di samping itu, secara mikro, pendidikan juga harus selalu
memperhitungkan karakteristik perbedaan peserta didik. Dengan demikian, acuan
pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan nasional harus
mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif, sehingga terdapat
keterpaduan dalam konsep.
Pertama, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa
dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan komponen-komponen sumber
pengaruh secara dinamik, misalnya keluarga, sekolah, media massa, dan dunia
usaha. Selain itu, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi
sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi
mendidik generasi penerus bangsa. Institusi pendidikan tradisional seperti
pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda bukan hanya
diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik,
tetapi juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dalam pendidikan
nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan Manajemen Berbasis
Sekolah (School-Based Management) dan Manajemen Berbasis Masyarakat
Luas (Broad-Based Managemet)—sebagaimana yang telah disinggung di atas–merupakan
kebijakan yang tepat dan seharusnya terus-menerus diupayakan dan
direalisasikan.[11]
Kedua, pendidikan dituntut untuk cepat tanggap atas
perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat, serta secara normative
sesuai dengan cita-cita masyarakatnya. Pendidikan harus progresif, tidak
resisten terhadap perubahan, akan tetapi mampu mengendalikan arah perubahan
itu, mampu mengantisipasi perubahan. Dengan demikian, diperlukan sumber daya
pendidikan yang tangguh dan memadai. Dalam hal ini, fungsi institusi pendidikan
dan pelatihan guru (seperti PPPG dan BPG) perlu lebih dioptimalkan peranannya
sesuai dengan tugas dan fungsinya, agar mampu melakukan berbagai kegiatan
peningkatan kualitas guru di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik pre-service
maupun in-service. Selain itu, dalam peningkatan mutu guru melalui
pendidikan dalam-jabatan, penekanan diberikan kepada kemampuan guru agar dapat
meningkatkan efektivitas mengajarnya, mengatasi persoalan-persoalan praktis dalam
pembelajaran, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individual
siswa.
Ketiga, dalam kondisi masyarakat yang menghendaki
perubahan mendasar, maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang
dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik
pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang
relatif stabil. Pendekatan pragmatis bersifat lebih berorientasi masa kini,
sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan
tetap berpijak pada kondisi sekarang. Berkaitan dengan hal ini, kurikulum
pendidikan harus berorientasi ke masa depan, serta memberikan keleluasaan
kepada sekolah, guru, dan siswa, untuk mengoptimalkan potensi mereka; tidak
sekedar dikejar target beban kurikulum sebagaimana yang selama ini terjadi.
Selain itu, penerapan model-model pembelajaran yang bersifat student-centered
perlu lebih ditekankan penerapannya, agar menghasilkan produk yang lebih
mandiri, memiliki kebebasan berfikir, kritis, dan tangguh.
Keempat, pendidikan dengan prinsip global. Pendidikan harus mampu berperan dan
menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun demikian,
harus selalu diingat bahwa dalam pendidikan berwawasan global, pendidikan pada
waktu yang bersamaan mempunyai kewajiban untuk melestarikan karakter nasional.
Meskipun konsep nationstate sudah diragukan dan diganti dengan welfare
state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless)
karena kemajuan teknologi informasi, pembinaan karakter nasional tetap relevan
dan bahkan harus terus dilakukan. Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa
yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa.
Negara kebangsaan seharusnyalah Negara yang menyesuaikan kesejahteraan bagi
warganya, dan di sinilah peran pendidikan sangat sentral.
Selanjutnya
untuk memberikan solusi terhadap empat indikator perkembangan sistem pendidikan
di Indonesia dapat diajukan hal-hal berikut ini :
1. Popularisasi Pendidikan
Untuk
memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan
model pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya
meningkatkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat
dalam penyelenggaraan, investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan
investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini
adalah melalui program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan
berkualitas, (2) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang
bermutu, (3) menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan
yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan
organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan
(5) meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya,
sehingga dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal.
Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut juga harus
diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, seperti
penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar
negeri.[12]
2. Sistemasi Pendidikan
Pendidikan Indonesia diharapkan juga
memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan.
Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem
pendidikan nasional pada pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi otonomi
yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi
segenap dipersivitas yang ada di Indonesia, (3) pembatasan program-program
pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi
paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan
lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah, (2) mengurangi birokrasi
penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi
seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan
sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.
3. Proliferasi Pendidikan
Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan
kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk
meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1)
meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan,
media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia
kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat
dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi
lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin
masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas
dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus
urbanisasi rekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama
yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.
4. Politisasi Pendidikan
Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab
itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik
pendidikan maupun politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam
meningkatkan peradaban manusia. Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional
ikut serta dalam mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik
yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang
bertanggung jawab, (2) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat
diimplementasikan melalui program-program (1) menerapkan sistem merit dan
profesionalisme dalam rangka membersihkan birokrasi departemen dari
kepentingan-kepentingan politik, (2) menegakkan disiplin serta tanggung jawab
para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi
pekerti.
D. Kesimpulan
1.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan
negara-negara di dunia
2.
Tantangan internal pendidikan di Inonesia menurut H A R Tilaar meliputi,
kesatuan bangsa, demokratisasi, desentralisasi dan kualitas penddikan.
3.
Tantangan global pendidikan nasional meliputi, pendidikan yang kompetitif
dan novatif, serta identitas kebangsaan.
4.
Paradigma baru pendidikan nasional menurut H A R Tilaar meliputi,
popularisasi pendidikan, sistemasi pendidikan, Proliferasi pendidikan dan
Politisasi pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2011
Riyadi, Ali , Politik
Pendidikan, Jogjakarta:
Ar-Ruz, 2006
Tilaar, H A R pada, Mengurai Benang Kusut
Pendidikan, Gagasan Para Pakar Pendidikan, Jakarta : Transformasi UJN, 2003
Tilaar, H A R, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2010
Tilaar, H A R, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat
Madani Indonesia, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999
Tilaar, H A R, Manifesto Pendidikan Nasional,
Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta : Kompas, 2005
[1] Muzayyin
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), 10.
[2] H A R
Tilaar pada, Mengurai Benang Kusut Pendidikan, Gagasan Para Pakar
Pendidikan, (Jakarta
: Transformasi UJN, 2003), 41.
[3] H A R
Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 10
[4] H A R
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999), 3.
[5] H A R
Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme
dan Studi Kultural, (Jakarta
: Kompas, 2005), 110.
[6] Ibid H A
R Tilaar, 15
[7] H.A.R.
Tilaar.. hal 64
[8] proliferasi dalam http://id.w3dictionary.org diartikan n.
pertumbuhan, meningkatkan, burgeoning atau bourgeoning, perluasan,
menyebar, eskalasi, build-up, bangkit
[9]
Sebagaimana dikatakan Ali Riyadi, Politik Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2006), 5.
[10] Paradigma
dalam bahasa inggris adalah paradigm yang berarti model. Pada
www.degaabdullatif.blogspot.com,
diakses pada 21 Sept 2012.
[11] Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, pada www.sayidimansuryohadiprojo.com,
diakses pada 21 sept 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar