Minggu, 30 Desember 2012

PROBLEM DAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN


PROBLEMATIKA DAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh Aan Minan Nur Rohman
A. Pendahuluan
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, tengah memasuki dunia tanpa batas (borderless world) sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi, globalisasi komunikasi, dan kesepakatan-kesepakatan internasional.[1] Dampaknya Negara ini harus terbuka terhadap aktifitas social, ekonomi, budaya, dan komunikasi, sehingga menuntut tersedianya modal manusia berupa kecakapan hidup bemutu.
Berbagai temuan tentang rendahnya kualitas SDM Indonesia telah dikemukakan di berbagai forum maupun media massa. Baik mengenai Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia,[2] khususnya pada peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala, makin lama makin menurun. tingginya angka putus sekolah, sistem pendidikan yang berubah-ubah.
Bertolak dari berbagai gambaran di atas, dapat dilihat bahwa ada permasalahan besar dan mendasar dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yaitu rendahnya mutu sistem pembelajaran atau sistem pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengembangan sistem pendidikan nasional yang mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Makalah sederhana ini berusaha menyampaikan tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia beserta paradigma baru pendidikan nasional sebagai solusi alternatifnya.

B. Problematika Pendidikan di Indonesia
Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai krisis yang terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan, dan telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyaraka
H A R Tilaar membagi tantangan pendidikan nasional menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) tantangan internal, dan (2) tantangan global. Tantangan internal meliputi masalah kesatuan bangsa, demokratisasi pendidikan, desentralisasi manajemen pendidikan, dan kualitas pendidikan. Sedangkan tantangan global meliputi: pendidikan yang kompetitif dan inovatif, dan identitas bangsa.[3]
1.        Tantangan Internal
a.       Kesatuan Bangsa
Berkaitan dengan masalah kesatuan bangsa, nilai-nilai kesatuan bangsa hanya dapat ditanamkan di dalam proses pendidikan, apabila peserta didik menghayati kesatuan antara apa yang mereka pelajari di sekolah, dengan apa yang diperbuat oleh para orang tua dan para pemimpin masyarakat. Rasa kesatuan bangsa berarti pula seseorang bangga menjadi bangsa Indonesia. Apabila suatu bangsa terpuruk bukan hanya dari segi ekonomi tetapi lebih lebih dari segi moral dan etika, maka tidak mungkin seseorang merasa bangga sebagai anggota suatu bangsa. Kebanggaan sebagai suatu bangsa merupakan suatu kebanggaan moral dan etis. Inilah masalah yang pertama dan utama di dalam pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat Indonesia baru. Rasa bangga menjadi orang Indonesia berarti pula bangga dengan kebudayaan Indonesia.
b.      Demokratisasi pendidikan
Tantangan internal yang kedua, yaitu demokratisasi pendidikan. Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang menghargai akan potensi individu, yaitu individu yang berbeda dan individu yang mau hidup bersama. Dengan demikian segala jenis homogenisasi masyarakat yaitu menyamaratakan anggota masyarakat menuju kepada uniformitas adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi. Termasuk di dalamnya pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan inti dari kehidupan demokrasi di segala aspek kehidupan. Begitu juga dalam bidang pendidikan, semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga memiliki kewajiban yang sama untuk membangun pendidikan nasional yang bermutu.[4]  Demokrasi bukan hanya masalah prosedur atau susunan pemerintahan, tetapi terutama adalah merupakan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang mengakui akan kehormatan atau martabat manusia (human dignity). Oleh sebab itu, proses pendidikan nasional dapat dirumuskan sebagai proses hominisasi dan proses humanisasi. Pendidikan tidak hanya sekedar menghidupi peserta didik, tetapi juga mengembangkannya sebagai manusia (human being), atau  pendidikan yang memanusiakan.[5]
c.       Desentralisasi Manajemen pendidikan
Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan di daerah akan berimplikasi langsung di dalam penyusunan dan penentuan kurikulum yang saat ini masih sentralistis dan memberatkan peserta didik. Desentralisasi pendidikan dan kebudayaan meminta artikulasi dalam semua jenis pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi diarahkan kepada kebutuhan perkembangan sumber-sumber alam dan sumber-sumber manusia yang terdapat di daerah. Dengan demikian, masalah akuntabilitas pendidikan yang selama ini telah mengasingkan pendidikan dari kehidupan masyarakat akan dapat diatasi. Community-based education atau school-based education merupakan wujud nyata dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, pendiidkan yang diinginkan adalah pendidikan pemberdayaan, yaitu pendidikan yang bertujuan memberdayakan setiap anggota masyarakat untuk dapat berprestasi setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan yang telah dikembangkan di dalam dirinya sendiri
d.      Kualitas pendidikan
Terkait dengan masalah kualitas pendidikan, dari berbagai unsure penyelenggaraan pendidikan, dapat dilihat betapa sulitnya peningkatan kualitas pendidikan dengan sarana yang terbatas, dana pendidikan yang minim, penghargaan kepada profesi guru yang sangat rendah, dan terbatasnya berbagai sarana penunjang pendidikan lainnya.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu syarat mutlak untuk mempercepat terwujudnya suatu masyarakat yang demokratis. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya pendidikan yang mengembangkan intelegensi akademik, namun perlu mengembangkan seluruh spektrum intelegensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan. Pendidikan formal bukan hanya mengembangkan intelegensi skolastik tetapi juga intelegensi emosional, spasial, interpersonal, intrapersonal, dan seterusnya. Sistem pendidikan nasional haruslah memberikan kesempatan untuk perkembangan spektrum intelegensi yang luas tersebut.
2.        Tantangan Global
a.       Pendidikan yang kompetitif dan inovatif[6]
Selanjutnya yang terkait dengan tantangan global yang pertama adalah pendidikan yang kompetitif dan inovatif. Pendidikan dalam millenium ketiga adalah adalah pendidikan yang mengembangkan sikap inovatif. Hal ini sejalan dengan kehidupan demokrasi yang memerlukan anggota-anggota yang bukan merupakan robot, tetapi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif. Hanya dengan sikap demikian, suatu masyarakat demokrasi akan semakin lama semakin maju dan semakin meningkat kualitasnya. Masyarakat dan individu yang kompetitif serta dapat bekerja sama , didorong oleh sikap inovatif merupakan paradigma baru dari berbagai negara di dunia. Hal ini sangat ditekankan di dalam sistem pendidikan, lebih-lebih di dalam menghadapi kehidupan global dengan pasar bebasnya yang kompetitif. Suatu sistem pendidikan dapat saja menghasilkan tenaga-tenaga pemikir yang berkembang, namun apabila tidak inovatif maka kemampuan berpikirnya tidak akan bermanfaat dalam kehidupan bersama. Di masa depan, hanya bangsa yang inovatif yang mempunyai daya saing besar yang dapat menguasai kehidupan dunia.
b.      Identitas bangsa
Masalah kedua yang terkait dengan tantangan global adalah identitas bangsa. Kehidupan global akan melahirkan kebudayaan global. Dewasa ini dapat dilihat betapa kebudayaan global telah mulai melanda kehidupan global yang tanpa batas. Di satu pihak, budaya global dapat membuka cakrawala pemikiran anggota masyarakat, namun juga kemungkinan masuknya unsur-unsur kebudayaan global yang negatif akan dapat meracuni kehidupan generasi muda. Oleh sebab itu, semakin penting adanya suatu kesadaran akan identitas sebagai suatu bangsa. Identitas suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi perkembangan pribadinya, namun juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global. Tugas pendidikan nasional adalah mengembangkan identitas peserta didik agar dia bangga menjadi bangsa Indonesia yang dengan penuh percaya diri memasuki kehidupan global sebagai seorang Indonesia yang berbudaya. Pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar yang terdidik, tetapi yang lebih penting adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilited human being).
Demikianlah tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia, yang bukan merupakan hal mudah untuk diatasi. Sebagaimana perubahan suatu kebudayaan, maka dituntut kerja keras, perencanaan yang matang, pengerahan sumber-sumber untuk menunjang pelaksanaan. Lebih-lebih dalam masyarakat Indonesia—yang masih dalam masa transisi dan harus belajar hidup demokarsi yang sesungguhnya—maka tugas nasional ini memerlukan suatu komitmen politik. Komitmen politik berarti adanya suatu keterikatan moral dari seluruh anggota masyarakat dalam rancangan-rancangan kehidupan bersamanya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru melalui sistem pendidikan nasional.
Selanjutnya menurut H A R Tilaar ada  Empat Indikator perkembangan sistem pendidikan yaitu; 1) popularisasi pendidikan 2) sistematisasi pendidikan 3) proliferasi pendidikan, dan 4) politisasi pendidikan.[7]
a.       Popularisasi Pendidikan
Pada jaman kolonial pendidikan hanyalah hak dari sekelompok kecil masyarakat, sedangkan masyarakat luas boleh dikatakan mendapatkan pendidikan yang sangat terbatas dan diskriminatif atau diserahkan kepada praktek pendidikan tradisional tanpa bantuan dari pemerintah, bahkan dikucilkan. Namun dengan proklamasi kemerdekaan 17 agustus  1945, pendidikan telah dianggap sebagai hak semua orang. Hasilnya adalah lahirlah gerakan “more eduction” atau dikenal sebagai (education explosion). Selanjutnya  lahirlah apa yang disebut teori pemberantasan kemiskinan melalui pemutusan lingkaran setan yang menyebabkan kemiskinan absolute. Salah satu faktornya ialah rendahnya pendidikan.
Memang benar tingkat pendidikan yang rendah tidak dapat membawa manusia kepada kehidupan yang layak, maka lahirlah education for all yaitu pendidikan telah merupakan suatu kebutuhan pokok (basic needs) di dalam kehidupan manusia. Di dorong oleh perinsip ini maka maraklah antara lain program-program wajib belajar. Indonesia melaksanakan wajib belajar sekolah dasar 6 tahun yang telah dicapai pada tahun 1984 dengan penghargaan Aviciena dari UNISCO kepada presiden republik Indonesia. Kesuksesan wajib belajar 6 tahun dilanjutkan dengan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.
b.      Sistematisasi pendidikan
Untuk meningkatkan mutu dan standar pendidikan nasional maka diadakanlah berbagai usaha dan peraturan untuk menyeragamkan pendidikan nasional. Berdasar dari asumsi-asumsi efisiensi dan keseragaman maka pendidikan nasional diusahakan diatur melalui undang-undang  positif serta berbagai peraturan yang menjamin uniformitas suatu sistem. Demikianlah kita mulai mengenal norma-norma nasional yang dicapai melalui ujian nasional seperti EBTANAS dan UMPTN. Berbagai cara dilaksanakan dengan menerapkan prinsip TQM (Total Quality Management) di dalam bidang pendidikan untuk mencapai mutu pendidikan yang dicita-citakan. Berbagai tes-tes standar dikembangkan untuk menyeragamkan mutu pendidikan diseluruh negeri.
c.       Proliferasi pendidikan[8].
Ketika memproklamirkan kemerdekaan, pendidikan boleh dikatakan sebagian besar diartikan sebagai pendidikan di sekolah. Pada tahun 1950 pendidikan formal juga menganndung arti pendidikan untuk masyarakat.
Tampak di dalam UU No. 4 Tahun 1950 yang terutama diarahkan kepada pendidikan disekolah atau dengan kata lain yang berkaitan dengan pengajaran. Di dalam perkembangan masyarakat kita, ditambah pula dengan kemajuan tegnologi, maka pengertian dan lingkupan pendidikan menjadi lebih luas lagi dengan munculnya berbagai sarana prasarana pendidikan yang dulunya tidak dikenal oleh masyarakat.
Sehingga kita mengenal pendidikan maya (virtual education) yang menggelobal. Dengan demikian terjadi proleferasi yang sangat cepat baik di dalam pendidikan formal, non formal, maupun informal. Multifikasi dari jenis dan sumber pendidikan telah memberikan banyak masalah yang dulu tidak dikenal di dalam managemen pendidikan. Sejalan dengan proliferensi pendidikan maka tanggung jawab pendidikan tampaknya lama-kelamaan bergeser dari pendidikan keluarga ke lingkungan di luar keluarga bahkan diluar gedung sekolah.
d.      Politisasi pendidikan
Antara pendidikan dan politik terdapat kaitan yang sangat erat. Keduanya pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Keduanya mempunyai titik ringgung yang sama ialah pertanyaan mengenai tujuan hidup manusia dan masyarakat.[9]
Keduanya menginginkan adanya kehidupan yang berbahagia. Keduanya juga diarahkan bagaimana mencipta pribadi dan masyarakat, yang membentuk kehidupan bersama, dapat menciptakan kehidupan yang bahagia, namun demikian di dalam sejarah perkembangan lahirnya Negara-negara, peranan pendidikan di dalam kehidupan politik sebenarnya tidak begitu besar. Meskipun diakui bahwa tanpa pedidikan, kehidupan bersama yang berbahagia di dalam suatu negara tidak dapat diciptakan. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa politik (partai politik) memperebutkan pendidikan sebagai sarana untuk melanggengkan kehidupan politiknya. Melalui proses pendidikan dapat dialihkan pemikiran-pemikiran, ide-ide, dan cara-cara untuk mewujudkan kehidupan bersama yang berbahagia. Dengan demikian mudah dimengerti mengapa terjadi proses politisasi terhadap pendidikan nasional.
C. Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Berdasarkan uraian mengenai refleksi sejarah pendidikan di Indonesia, permasalahan-permasalahan pendidikan, dan dengan mempelajari contoh sukses sistem pendidikan di Jepang dan Cina, selanjutnya dirumuskan paradigma baru pendidikan di Indonesia.[10]
Selanjutnya belajar dari kesuksesan negara Jepang dan China dalam pembangunan pendidikannya, beberapa hal yang perlu dicatat adalah: (1) adanya komitmen pemerintah, ditunjang dengan penyediaan dana pendidikan yang memadai, sarana penunjang pendidikan yang layak, serta hukum dan peraturan yang menjamin kepentingan pengembangan pendidikan (2) adanya keterlibatan masyarakat dan pihak industri serta pemangku kepentingan yang lainnya (stake holders) untuk bersama-sama memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan pendidikan, (3) pendidikan yang tidak sentralistis, (3) kurikulum pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, serta metode pembelajaran yang kompetitif dan inovatif, dan (4) kecintaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah membudaya dalam masyarakat, termasuk peserta didik di semua jenjang dan jalur pendidikan.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka paradigma pendidikan perlu diredefinisikan. Rumusan paradigma baru tersebut diharapkan mampu memberikan arah yang benar, sesuai denga peran pendidikan nasional yang secara makro dituntut untuk membantu mengantarkan masyarakat Indonesia menuju masyarakat Indonesia baru, yang dinamakan masyarakat madani (civil society), yakni masyarakat yang demokratis, religius, dan tangguh menghadapi lingkungan global yang kompetitif.
Peran pendidikan seharusnya dipahami bukan saja dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), namun juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masayarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan masyarakat dunia. Hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara. Oleh karena pendidikan terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara silmultan. Di samping itu, secara mikro, pendidikan juga harus selalu memperhitungkan karakteristik perbedaan peserta didik. Dengan demikian, acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif, sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep.
Pertama, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, misalnya keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Selain itu, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Institusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, tetapi juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dalam pendidikan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (School-Based Management) dan Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (Broad-Based Managemet)—sebagaimana yang telah disinggung di atasmerupakan kebijakan yang tepat dan seharusnya terus-menerus diupayakan dan direalisasikan.[11]
Kedua, pendidikan dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat, serta secara normative sesuai dengan cita-cita masyarakatnya. Pendidikan harus progresif, tidak resisten terhadap perubahan, akan tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu, mampu mengantisipasi perubahan. Dengan demikian, diperlukan sumber daya pendidikan yang tangguh dan memadai. Dalam hal ini, fungsi institusi pendidikan dan pelatihan guru (seperti PPPG dan BPG) perlu lebih dioptimalkan peranannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, agar mampu melakukan berbagai kegiatan peningkatan kualitas guru di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik pre-service maupun in-service. Selain itu, dalam peningkatan mutu guru melalui pendidikan dalam-jabatan, penekanan diberikan kepada kemampuan guru agar dapat meningkatkan efektivitas mengajarnya, mengatasi persoalan-persoalan praktis dalam pembelajaran, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individual siswa.
Ketiga, dalam kondisi masyarakat yang menghendaki perubahan mendasar, maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pragmatis bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Berkaitan dengan hal ini, kurikulum pendidikan harus berorientasi ke masa depan, serta memberikan keleluasaan kepada sekolah, guru, dan siswa, untuk mengoptimalkan potensi mereka; tidak sekedar dikejar target beban kurikulum sebagaimana yang selama ini terjadi. Selain itu, penerapan model-model pembelajaran yang bersifat student-centered perlu lebih ditekankan penerapannya, agar menghasilkan produk yang lebih mandiri, memiliki kebebasan berfikir, kritis, dan tangguh.
Keempat, pendidikan dengan prinsip global. Pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun demikian, harus selalu diingat bahwa dalam pendidikan berwawasan global, pendidikan pada waktu yang bersamaan mempunyai kewajiban untuk melestarikan karakter nasional. Meskipun konsep nationstate sudah diragukan dan diganti dengan welfare state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi informasi, pembinaan karakter nasional tetap relevan dan bahkan harus terus dilakukan. Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa. Negara kebangsaan seharusnyalah Negara yang menyesuaikan kesejahteraan bagi warganya, dan di sinilah peran pendidikan sangat sentral.
Selanjutnya untuk memberikan solusi terhadap empat indikator perkembangan sistem pendidikan di Indonesia dapat diajukan hal-hal berikut ini :
1.      Popularisasi Pendidikan
Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya meningkatkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat dalam penyelenggaraan, investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas, (2) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (3) menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan  (5) meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, sehingga dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut juga harus diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, seperti penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.[12]
2.      Sistemasi Pendidikan
Pendidikan Indonesia diharapkan juga memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional pada pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi otonomi yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi segenap dipersivitas yang ada di Indonesia, (3) pembatasan program-program pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.
3.      Proliferasi Pendidikan
Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan, media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi rekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.
4.      Politisasi Pendidikan
Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam meningkatkan peradaban manusia. Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, (2) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui program-program (1) menerapkan sistem merit dan profesionalisme dalam rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (2) menegakkan disiplin serta tanggung jawab para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.
D. Kesimpulan
1.      Kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara di dunia
2.      Tantangan internal pendidikan di Inonesia menurut H A R Tilaar meliputi, kesatuan bangsa, demokratisasi, desentralisasi dan kualitas penddikan.
3.      Tantangan global pendidikan nasional meliputi, pendidikan yang kompetitif dan novatif, serta identitas kebangsaan.
4.      Paradigma baru pendidikan nasional menurut H A R Tilaar meliputi, popularisasi pendidikan, sistemasi pendidikan, Proliferasi pendidikan dan Politisasi pendidikan



DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011

Riyadi, Ali , Politik Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruz, 2006

Tilaar, H A R pada, Mengurai Benang Kusut Pendidikan, Gagasan Para Pakar Pendidikan, Jakarta : Transformasi UJN, 2003

Tilaar, H A R, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010

Tilaar, H A R, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999

Tilaar, H A R, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta : Kompas, 2005




[1] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), 10.
[2] H A R Tilaar pada, Mengurai Benang Kusut Pendidikan, Gagasan Para Pakar Pendidikan, (Jakarta : Transformasi UJN, 2003), 41.
[3] H A R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 10
[4] H A R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), 3.
[5] H A R Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, (Jakarta : Kompas, 2005), 110.
[6] Ibid H A R Tilaar, 15
[7] H.A.R. Tilaar.. hal  64
[8] proliferasi dalam http://id.w3dictionary.org diartikan  n. pertumbuhan, meningkatkan, burgeoning atau bourgeoning, perluasan, menyebar, eskalasi, build-up, bangkit
[9] Sebagaimana dikatakan Ali Riyadi, Politik Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2006), 5.
[10] Paradigma dalam bahasa inggris adalah paradigm yang berarti model. Pada www.degaabdullatif.blogspot.com, diakses pada 21 Sept 2012.
[11] Paradigma Baru Pendidikan Nasional, pada www.sayidimansuryohadiprojo.com, diakses pada 21 sept 2012
[12] Paradigma Baru Pendidikan Nasional, pada www.dwi-rohadi.blogspot.com  diakses ada 21 sept 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar